Bloom algae adalah pertumbuhan alga yang super cepat sehingga jumlahnya sangat berlimpah menutup permukaan laut. Blooming algae atau harmfull algal bloom ini memungkinkan jika nutrisi atau zat hara disekitar perairan melimpah dan sinar matahari cukup menghangatkan perairan. Akibatnya, kista yang berada di dasar laut akan mengalami proses percambahan (germination) dan pecah menjadi sel-sel algae yang keluar dan menyebar. Sinar matahari akan mempercepat proses pembelahan sel menjadi sejuta kali dalam waktu dua sampai tiga minggu. Jika algae ini memiliki pigmen warna merah maka limpahan algae yang mengambang di permukaan laut ini akan mewarnai perairan menjadi merah sehingga fenomena ini disebut Red Tide. Red tide dapat menyebabkan terjadinya Paralytic Shellfish Poisoning (PSP). PSP merupakan penyakit yang timbul akibat kejadian alga blooming yang beracun.
Senyawa toksik utama dari paralytic shellfish poison adalah saxitoxin yang bersifat neurotoxin (racun yang menyerang system saraf). Keracunan ini disebabkan karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang memakan dinoflagelata yang beracun. Dinoflagelata sebagai agen saxitoxin dimana zat terkonsentrasi di dalamnya. Kerang-kerangan menjadi beracun disaat kondisi lingkungan sedang melimpah dinoflagelata yang beracun yang disebut pasang merah atau ‘red tide’.
Di Jepang bagian selatan ditemukan spesies kepiting (Zosimus aeneus) yang mengakumulasi dalam jumlah besar saxitoxin dan telah dilaporkan menyebabkan kematian pada manusia yang mengkonsumsinya.
Jika dilihat dari sifat kimianya, saxitoxin bersifat larut dalam air dan methil alkohol, sedikit larut dalam ethyl alkohol dan asam asetat tetapi tidak larut dalam pelarut organik. Saxitoxin dapat dihidrolisis dengan asam, stabil terhadap panas dan tidak rusak dengan proses pemasakan (Wogan & Marleta, 1985). Saxitoxin memiliki rumus kimia C10H17N7O3.2HCl.
Kerja dari saxitoxins adalah mengikat dan menghambat voltage-dependent sodium channels serta menghambat aktivitas neuron dan mempengaruhi sistem saraf peripheral. Gejala utama dari keracunan saxitoxin adalah kelumpuhan (paralysis) pada otot,selain otot jantung. Penderita mula-mula akan merasakan kesemutan dan menimbulkan gejala seperti rasa terbakar pada lidah, bibir, dan mulut yang selanjutnya merambat ke leher, lengan, dan kaki. Gejala selanjutnya terasa pada ujung jari tangan dan kaki yang nyeri seperti ditusuk-tusuk, pusing, mual, muntah, dan kejang pada otot perut, kesukaran bernafas dan akhirnya berhenti bernafas, tetapi jantung masih tetap berdenyut. Kemudian berlanjut menjadi mati rasa sehingga gerakan menjadi sulit. Dalam kasus yang hebat diikuti oleh perasaan melayang-layang, mengeluarkan air liur, pusing dan muntah. Toksin memblokir susunan saraf pusat, menurunkan fungsi pusat pengatur pernafasan dan cardiovasculer di otak, dan kematian biasanya disebabkan karena kerusakan pada sistem pernafasan. Bila tidak ditolong maka penderita akan meninggal dalam waktu 24 jam. Pertolongan hanya dapat dilakukan dengan cara menguras isi perut dan memberikan pernafasan buatan.
Manusia, burung, dan ikan dapat terinfeksi toxin PSP. Dosis fatal saxitoxin pada manusia adalah 1-4 mg, bergantung umur dan kondisi fisik pasien. Toxin ini akan menyerang sistem saraf dan pencernaan, dan gejala yang muncul terjadi dalam waktu 30 menit hingga 3 jam.
Saxitoxin menyebabkan kematian pada tikus percobaan dalam waktu 15 menit. Tanda dan gejala berkembang cepat dalam waktu 1-2 jam setelah mengkonsumsinya.
LD50 saxitoxin adalah 9 ug/kg berat badan tikus, sementara dosis mematikan untuk manusia adalah sekitar 1 – 4 mg. Sebagai control terhadap pemasaran jenis kerang-kerang didasarkan pada acuan yang dianjurkan oleh WHO yaitu bagian yang dapat dimakan dari kerang-kerangan mengandung 3 MU/g toksin PSP. Di Jepang jenis kerang-kerang komersial toksisitasnya selalu dimonitor secara periodik untuk mencegah keracunan.
Beberapa cara pengolahan yang sudah dilakukan untuk mengurangi racun saxitoxin :
1. Jay (1978) : toksin saxitoxin dapat diturun dengan pemanasan di atas 100°C.
2. Stewart (1978) : ozon dapat menurunkan keracunan saxitoxin pada kerang-kerangan yang terkontaminasi racun tersebut, demikian pula perlakuan panas dapat menurunkan daya racun di dalam kerang-kerangan.
3. Noguchi et al. (1980) : menurunnya toksisistas pada remis Patinopecten yessoensin terjadi selama proses “retorting” dan pada toksin yang tersisa terjadi penurunan kadar nya selama proses penyimpan.
4. Nagashima et al. (1991) : kadar toksin saxitoxin menurun dengan semakin lamanya waktu pemanasan. Semakin tinggi suhu pemanasan maka waktu yang diperlukan untuk mengurangi kadar toksin semakin cepat. Pemanasan pada suhu 100°C selama 30 menit atau 60 menit, kandungan toksin meningkat dari 15 MU/gr homogenate menjadi 30 MU/gr homogenate, tetapi menurun secara linier pada waktu pemanasan selanjutnya. Pola perubahan yang sama terhadap kadar toksin terjadi pada pemanasan 110 dan 120°C. Pada pemanasan suhu 110 dan 120°C terlihat pola perubahan toksisitas lebih cepat dari pada pemanasan suhu 100°C.
Seseorang yang mengonsumsi kerang yang mengandung algae jenis Alexandrium sp, dapat terkena kanker hati paralytic shellfish poisoning (PSP). Jenis racunnya disebut saxitoxin. Berdasarkan penelitian yang pernah diterapkan pada tikus, racun saxitoxin berdaya bunuh 1.100 kali dibandingkan sianida, sedangkan bisa ular kobra "hanya" berdaya bunuh 500 kali.
Jenis Pyrrophyta lain yang memproduksi saxitoxin adalah Alexandrium catenella, Alexandrium tamarensis, Alexandrium minutum, Gymnodium catenatum, Pyrodinium bahamense, dan Gonyaulax.
Senyawa toksik utama dari paralytic shellfish poison adalah saxitoxin yang bersifat neurotoxin (racun yang menyerang system saraf). Keracunan ini disebabkan karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang memakan dinoflagelata yang beracun. Dinoflagelata sebagai agen saxitoxin dimana zat terkonsentrasi di dalamnya. Kerang-kerangan menjadi beracun disaat kondisi lingkungan sedang melimpah dinoflagelata yang beracun yang disebut pasang merah atau ‘red tide’.
Di Jepang bagian selatan ditemukan spesies kepiting (Zosimus aeneus) yang mengakumulasi dalam jumlah besar saxitoxin dan telah dilaporkan menyebabkan kematian pada manusia yang mengkonsumsinya.
Jika dilihat dari sifat kimianya, saxitoxin bersifat larut dalam air dan methil alkohol, sedikit larut dalam ethyl alkohol dan asam asetat tetapi tidak larut dalam pelarut organik. Saxitoxin dapat dihidrolisis dengan asam, stabil terhadap panas dan tidak rusak dengan proses pemasakan (Wogan & Marleta, 1985). Saxitoxin memiliki rumus kimia C10H17N7O3.2HCl.
Kerja dari saxitoxins adalah mengikat dan menghambat voltage-dependent sodium channels serta menghambat aktivitas neuron dan mempengaruhi sistem saraf peripheral. Gejala utama dari keracunan saxitoxin adalah kelumpuhan (paralysis) pada otot,selain otot jantung. Penderita mula-mula akan merasakan kesemutan dan menimbulkan gejala seperti rasa terbakar pada lidah, bibir, dan mulut yang selanjutnya merambat ke leher, lengan, dan kaki. Gejala selanjutnya terasa pada ujung jari tangan dan kaki yang nyeri seperti ditusuk-tusuk, pusing, mual, muntah, dan kejang pada otot perut, kesukaran bernafas dan akhirnya berhenti bernafas, tetapi jantung masih tetap berdenyut. Kemudian berlanjut menjadi mati rasa sehingga gerakan menjadi sulit. Dalam kasus yang hebat diikuti oleh perasaan melayang-layang, mengeluarkan air liur, pusing dan muntah. Toksin memblokir susunan saraf pusat, menurunkan fungsi pusat pengatur pernafasan dan cardiovasculer di otak, dan kematian biasanya disebabkan karena kerusakan pada sistem pernafasan. Bila tidak ditolong maka penderita akan meninggal dalam waktu 24 jam. Pertolongan hanya dapat dilakukan dengan cara menguras isi perut dan memberikan pernafasan buatan.
Manusia, burung, dan ikan dapat terinfeksi toxin PSP. Dosis fatal saxitoxin pada manusia adalah 1-4 mg, bergantung umur dan kondisi fisik pasien. Toxin ini akan menyerang sistem saraf dan pencernaan, dan gejala yang muncul terjadi dalam waktu 30 menit hingga 3 jam.
Saxitoxin menyebabkan kematian pada tikus percobaan dalam waktu 15 menit. Tanda dan gejala berkembang cepat dalam waktu 1-2 jam setelah mengkonsumsinya.
LD50 saxitoxin adalah 9 ug/kg berat badan tikus, sementara dosis mematikan untuk manusia adalah sekitar 1 – 4 mg. Sebagai control terhadap pemasaran jenis kerang-kerang didasarkan pada acuan yang dianjurkan oleh WHO yaitu bagian yang dapat dimakan dari kerang-kerangan mengandung 3 MU/g toksin PSP. Di Jepang jenis kerang-kerang komersial toksisitasnya selalu dimonitor secara periodik untuk mencegah keracunan.
Beberapa cara pengolahan yang sudah dilakukan untuk mengurangi racun saxitoxin :
1. Jay (1978) : toksin saxitoxin dapat diturun dengan pemanasan di atas 100°C.
2. Stewart (1978) : ozon dapat menurunkan keracunan saxitoxin pada kerang-kerangan yang terkontaminasi racun tersebut, demikian pula perlakuan panas dapat menurunkan daya racun di dalam kerang-kerangan.
3. Noguchi et al. (1980) : menurunnya toksisistas pada remis Patinopecten yessoensin terjadi selama proses “retorting” dan pada toksin yang tersisa terjadi penurunan kadar nya selama proses penyimpan.
4. Nagashima et al. (1991) : kadar toksin saxitoxin menurun dengan semakin lamanya waktu pemanasan. Semakin tinggi suhu pemanasan maka waktu yang diperlukan untuk mengurangi kadar toksin semakin cepat. Pemanasan pada suhu 100°C selama 30 menit atau 60 menit, kandungan toksin meningkat dari 15 MU/gr homogenate menjadi 30 MU/gr homogenate, tetapi menurun secara linier pada waktu pemanasan selanjutnya. Pola perubahan yang sama terhadap kadar toksin terjadi pada pemanasan 110 dan 120°C. Pada pemanasan suhu 110 dan 120°C terlihat pola perubahan toksisitas lebih cepat dari pada pemanasan suhu 100°C.
Seseorang yang mengonsumsi kerang yang mengandung algae jenis Alexandrium sp, dapat terkena kanker hati paralytic shellfish poisoning (PSP). Jenis racunnya disebut saxitoxin. Berdasarkan penelitian yang pernah diterapkan pada tikus, racun saxitoxin berdaya bunuh 1.100 kali dibandingkan sianida, sedangkan bisa ular kobra "hanya" berdaya bunuh 500 kali.
Jenis Pyrrophyta lain yang memproduksi saxitoxin adalah Alexandrium catenella, Alexandrium tamarensis, Alexandrium minutum, Gymnodium catenatum, Pyrodinium bahamense, dan Gonyaulax.